KEIKUTSERTAAN EMPATIKU DALAM PELATIHAN TOT MEMBANGUN KAPASITAS UNTUK REINTEGRASI SOSIAL
.

Ardhiana Fitriyanie Program Manager Yayasan Empatiku menghadari undangan pelatihan dari The Habibe Center pada tanggal 21-23 Februari 2024 di Four Points by Sheraton di Jakarta.

Acara ini memiliki tiga tujuan diantaranya adalah meningkatkan kemampuan trainers untuk memberikan pelatihan keterampilan dan pengetahuan untuk diberikan kepada ex-napiter, kemudian memberikan keterampilan untuk proses reintegrasi sosial serta dapat mengidentifikasi potensi kolaborsi antar stake-holders. Acara yang berlangsung selama tiga hari ini sangat menyenangkan dan peserta yang lebih dari 15 orang hadir datang dari berbagai lembaga diantaranya adalah dari lapisan organisasi masyarakat sipil seperti YPP, Infid, Search for Common Ground, Wahid Foundation, CDS, DASPR, FKAAI, dll. Sedangkan dari pihak instansi pemerintahan ada Kemenag, BNPT, Sentra Handayani, Densus 88 AT, Kejaksaan Agung hingga Ditjenpas.

Dinamika pelatihan ToT ini sangat menarik, peserta tidak lagi disuguhi pembekalan materi secara sepihak oleh tim THC saja, namun semua peserta diminta berkelompok dan kelompok yang terpilih harus membawakan 2-3 sesi sedangkan kelompok yang tidak mendapatkan giliran akan berperan sebagai peserta pelatihan. Dinamika ini sangat unik dan menarik, karena setiap kelompok diberikan ruang seluas-luasnya dalam membawakan sesi materi sesuai dengan rencana yang sudah disiapkan oleh para kelompok yang mendapat giliran. Sehingga metode yang disampaikan setiap kelompok dapat berbeda satu dengan lainnya. Setiap kelompok tetap akan mengikuti guildeline dari modul yang sudah diberikan oleh THC namun, bagaimana dan metode apa yang digunakan serta tambahan ice breaking atau games diserahkan sepenuhnya pada masing-masing kelompok.

Metode ini berhasil memecah kebosanan dan dapat diikuti dengan baik oleh para peserta lain, sehingga para peserta yang lembaganya sudah terbiasa melakukan pelatihan kepada mitranya di lapangan dapat memperkaya wawasan dan metode pelatihan. Sedangkan lembaga yang belum pernah melakukan pelatihan dapat benar-benar belajar cara pelatihan yang fun dan tidak membosankan ketika suatu saat mereka menpatkan tugas pelatihan di lembaga masing-masing.

Modul Pelatihan Reintegrasi pendekatan Psikososial ini memiliki materi yang umum yang diperuntukan untuk conflict transformation dengan berbagai isu. Secara keseluruhan materi dalam modul ini berisi tentang Identitas Diri, Perubahan Nilai, Apresiasi, Pemimpin & Pengikut, In Group & Out Group yang mana modul ini juga sangat relevan dalam reinegrasi bagi mantan narapidana terorisme yang memiliki kesulitan untuk kembali ke masyarakat karena masih belum lepas dari kelompok radikal sebelumnya.

Empatiku melihat bahwa penggunaan modul ini bisa sangat bersinergi dengan pedoman milik Empatiku yaitu Mengenal Tanda Peringatan Dini Esktremisme Kekerasan yang sudah di launching maret tahun lalu dimana pedoman ini diperuntukan untuk masyarakat agar dapat berperan aktif dalam pencegahan eksterisme berbasis kekerasan mengarah pada terorisme dengan mampu mengenal tanda-tanda peringatannya sedini mungkin dan dapat membantu para ex-napiter untuk dapat kembali ke masyarakat. Keterkaitannya adalah sebelum mereka (ex-napiter) dapat reintegrasi ke masyarakat, warga disekitar rumahnya nanti sudah dipersiapakan dan dibekali daya tangguh dalam melawan potensi ekstremisme di lingkungan mereka dengan menggunakan berbagai prinsip dasar dalam pedoman ini diantaranya Prinsip Do No Harm, Kehati-hatian, Perlindungan HAM, Kesetaraan, Perlindungan Anak, Kesetaraan Gender, serta prinsip lainnya. Sehingga masyarakat sudah tidak ada lagi memberikan stigma dan labelisasi untuk mereka sehingga dengan penerimaan masyarakat di sekitarnya mereka mampu memisahkan diri dari kelompok lamanya (Disengagement) karena mendapat penerima dari lingkungan baru mereka dan mulai membangun kohesi sosial bersama.

Eksistensi Yayasan Empatiku dalam melakukan berbagai kegiatan pencegahan ekstrimisme kekerasan melalui program reintegrasi sosial semakin diakui dunia internasional.

Pada tanggal 17 November 2023, USIP mengundang Yayasan Empatiku untuk menjadi narsumber dalam simposium internasional sehari saat menjadi tuan rumah peluncuran Panduan Aksi RISE (The Rehabilitation and Reintegration through Individual, Social and Structural Engagement).

Acara ini menampilkan diskusi panel, diskusi interaktif dan perbincangan ala TED untuk memperkenalkan konten RISE, yang membahas kerangka kebijakan yang diperlukan untuk rehabilitasi dan reintegrasi, dengan pendekatan program di tingkat individu, sosial dan struktural yang memberikan respons secara komprehensif untuk rehabilitasi dan reintegrasi.

Yayasan Empatiku diwakili oleh Dr. Margaretha Hanita, S.H.M.Si (board member) dalam sesi refleksi di tingkat lokal bersama narasumber lain berbagai negara, yakni Fatima Akilu, Ph.D. Executive Director, NEEM Foundation, Cholpon Orozobekova
Director, Bulan Institute for Peace Innovations dan Sarhang Harmasaeed, Director, Middle East Programs, U.S. Institute of Peace.

Sesi panel diskusi dipandu secara langsung oleh Binalakshmi Nepram, Senior Advisor on Indigenous Issues, Religion and Inclusive Societies, USIP. Dalam panel tersebut Margaretha Hanita membagikan pengalaman Yayasan Empatiku dalam membangun ketahanan masyarakat di Indonesia untuk mendukung reintegrasi social melalui kegiatan deteksi dini berbasis komunitas.

Ada 4 pilar ketahanan komunitas dalam kegiatan ini, yang pertama adalah membangun kesadaran akan resiko ekstrimisme kekerasan dan mengembangkan kemampuan masyarakat untuk mengenali tanda-tanda awal kekerasan. Pilar pertama ini dipraktekkan oleh Yayasan Empatiku bersama komunitas masyarakat yang terdiri dari kelompok perempuan majelis taklim, RT, PKK, Karang Taruna dan kelompok lain dalam masyarakat di 3 kelurahan di Depok dan Tangerang.

Pilar kedua adalah membangun mekanisme manajemen kasus dan membangun sistem manajemen data kasus yang ditemukan, hingga saat ini setidaknya sudah tercatat 40 kasus yang terdeteksi dini dan ditangani oleh Tim Tangguh yang telah dilatih secara khusus oleh Yayasan Empatiku untuk deteksi dini tanda-tanda awal kekerasan dan melakukan penanganan awal. Pilar ketiga adalah membangun kohesi social dan pilar kempat adalah dukungan kebijakan.

Prinsip reintegrasi social yang dilakukan dalam kegiatan ini adalah memisahkan aksi dengan orang yang menjadi pelaku. Aksi kekerasannya tidak disetujui, namun pelakunya tidak dikeluarkan dalam komunitas, namun justru diijinkan untuk disatukan kembali dengan masyarakat melalui pendekatan restorative yang dikenalkan dengan cara dialog yang melibatkan mantan narapidana teroris, para deportan dan keluarganya, korban bom Thamrin, kelompok komunitas bahkan aparat pemerintah seperti lurah, camat, Babinsa dan Bhabinkamtibmas.

Kegiatan Empatiku yang dibagikan dalam panel tersebut disambut baik oleh USIP dan para audience sebagai lesson learn dan best practice dr Indonesia karena sangat relevan dengan panduan aksi yang dibangun dalam RISE. Panduan Aksi yang diterbitkan oleh USIP ini memberikan kerangka kerja dalam membangun perdamaian bagi para pemangku kepentingan di tingkat lokal, pembuat kebijakan, penyandang dana dan pelaksana untuk mendukung rehabilitasi orang-orang yang melepaskan diri dari kekerasan ekstremis serta reintegrasi dan rekonsiliasi dengan komunitas lokal.

RISE adalah pendekatan rehabilitasi dan reintegrasi yang prososial dan berpusat pada komunitas yang mengacu pada prinsip-prinsip pembangunan perdamaian dan kesehatan masyarakat. Tujuan utama Panduan Aksi RISE adalah untuk mendorong perubahan perilaku yang memfasilitasi pelepasan diri dari, dan penolakan terhadap, kekerasan dengan menurunkan hambatan dan membuka ruang bagi keterlibatan yang berkelanjutan, positif, dan inklusif antara orang-orang yang melepaskan diri dari kekerasan ekstremis dan anggota serta lembaga masyarakat lokal. Acara symposium ditutup dengan ramah tamah bersama seluruh partisipan dari berbagai negara yang juga berbagi pengalaman dalam sesi diskusi-diskusi terpisah.

Setelah melalui proses panjang selama dua tahun, pada hari Rabu tanggal 18 Oktober 2023, Pemerintah Provinsi Banten resmi meluncurkan Surat Keputusan Gubernur Banten Nomer 339.05/KEP.173-HUK/2023 tentan Rencana Aksi Daerah Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang mengarah pada terorisme (RAD PE).

Acara peluncuran tersebut didukung oleh Yayasan Empatiku bersama dengan Working Group on Women and Preventing / Countering Violent Extremism (WGWC) dan AMAN Indonesia. Acara tersebut dihadiri oleh 77 undangan dari berbagai perwakilan lembaga OPD yang terdaftar sebagai Tim Terpadu dalam KepGUb RAD PE Prov Banten, Tim Tangguh Tangerang Selatan dan Organisasi Masyrakat Sipil yang berbasis di Banten seperti Yayasan Alaska Mandiri, dan PPSW serta organisasi partner seperti PAKAR dan Yayasan Prasasti Perdamaian.

Acara dibuka dengan laporan dari Badan Kesbangpol yang diwakili oleh Kabid Kewaspadaan Nasional Bapak Cucu Suhara, serta SC WGWC yang diwakili oleh Bapak Taufik Andrie, mengenai proses berjalannya advokasi kebijakan tersebut hingga ditandatangani pada tgl 26 Juli 2023. WGWC melalui organisasi masyarakat Sipil telah membantu mendorong adanya RAD PE di 6 Povinsi yaitu Aceh, Sulawesi Tengah, Jawa-Barat, Jawa-Tengah, Jawa-Timur dan Banten. WGWC menyampaikan ucapan selamat kepada Empatiku dan pemerintah daerah Provinsi Banten untuk pencapaian ini dan berharap RAD PE bisa berjalan dan diimplementasikan dengan baik. Selanjutnya, Sekretaris Kepala Badan Kesbangpol Bapak Epi Rustam, S.Kom.MM memberikan sambutan sekaligus secara resmi meluncurkan Rencana Aksi Daerah Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang mengarah pada terorisme (RAD PE) tahun 2023-2024 di Provinsi Banten. Acara seremonial diakhiri dengan menyerahkan RAD PE secara simbolik kepada Tim Terpadu, Yayasan Empatiku dan Tim Tangguh Kota Tangerang Selatan untuk dapat dilaksanakan.

Acara dilanjutkan dengan Seminar bertema Menanggapi Keputusan Gubernur No.339.05/Kep.173-Huk/2023 tentang Pembentukan Tim Terpadu Pelaksanaan RAD PE Tahun 2023 -2024 di Provinsi Banten dari Weti Deswita, M.Si, (Plt Dir. Kerjasama Multilateral, BNPT), Ir. Cucu Suhara (Kabid Kewaspadaan Nasional, Bakesbangpol Provinsi Banten), Ratna Feriyanti (Tim Tangguh Kelurahan Muncul, Tangerang Selatan) dan Mira Kusumarini (Direktur Eksekutif Yayasan Empatiku). Ibu Weti menyampaikan pentingnya kerangka kebijakan yang sistematis dan terpadu baik di tingkat nasional maupun daerah serta penguatan implementasinya melalui kolaborasi multipihak. Senada dengan ibu Weti, pak Cucu menekankan prinsip-prinisp yang harus ditaati dalam RAD PE serta koordinasi di daerah dilakukan bersama melalui Tim Terpadu yang berisi tiga Pokja yaitu Pokja I Kesiapsiagaan Daerah, Pokja II Kontra Radikalisasi, Pokja III Deradikalisasi.

Sementara perwakilan pemerintah mengemukakan perihal keberadaan RAD PE dan penerapannya, bu Ratna yang mewakili tim Tangguh Kelurahan Muncul, Tangerang Selatan menceritakan pengalamannya dalam menjalankan Sistem Deteksi dan Penanganan Dini bersama masyarakat di wilayahnya. Bu Ratna menjelaskan tentang peran perempuan dan strategi masyarakat akar rumput dalam mencegah tumbuhnya ekstremisme berkekerasan. Hal ini menjadi catatan penting bagi para stakeholder bagi penerapan RAD PE di daerah khususnya Pokja I. Terakhir, bu Mira menceritakan perjalanan Yayasan Empatiku dalam upaya advokasi kebijakan Keputusan Gubernur Banten terkait RAD PE ini dari mulai diskusi awal hingga pengesahan. Bu Mira juga menyampaikan urgensi penguatan sistem deteksi dini berbasis masyarakat dan pentingnya kolaborasi antar lembaga, baik pemerintah maupun non pemerintah, masyarakat sipil termasuk tokoh keagamaan dan tokoh masyarakat dalam implementasi RAD PE di provinsi Banten.

Sudah kurang lebih dua bulan sejak Agustus hingga September 2023 Yayasan Empatiku memberikan pelatihan membangun kohesi sosial bagi para istri mantan narapidana terorisme di Bekasi.

Kegiatan pelatihan ini bertujuan untuk memberdayakan para istri eks napiter dan membantu proses reintegrasi keluarga mereka agar bisa kembali ke masyarakat. Program kewirausahaan ini sebelumnya telah berhasil dilakukan di kelurahan Pondok Kacang Timur, Tangerang Selatan. Ada empat tahapan kegiatan tersebut diantaranya persiapan peserta, pelatihan membangun kohesi sosial, mobilisasi dana insentif usaha sosial bersama dan pendampingan teknis pasaka pelatihan dan evaluasi.

Tahap pertama program diawali dengan persiapan pada bulan Agustus. Dari dua kelurahan yaitu Mustikasari, Kecamatan Mustikajaya, Bekasi Timur dan Kelurahan Kebalen, Kecamatan Babelan, Bekasi Barat telah didapatkan sepuluh ibu-ibu dan dbentuk dua kelompok usaha sosial bersama. Satu kelompok usaha beranggotakan lima orang istri mantan napiter dan lima anggota masyarakat. Kemudian, kelompok dibagi kembali dalam dua kelompok masing-masing dua sampai tiga istri eks napiter dan anggota masyarakat.  Selanjutnya, seluruh peserta mengikuti orientasi program untuk memastikan komitmen dan visi misi bersama.

Tahap kedua dilanjutkan dengan pelatihan kohesi sosial yang dilaksanakan pada tanggal 22 Agustus 2023 di hotel Amaris, Bekasi Barat. Selain peserta, turut hadir juga tiga perwakilan Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan dalam Rumah Tangga dan Rentan, KPPPA sebagai observer. Pelatihan difasilitasi oleh satu fasilitator dan co-fasilitator. Ibu Eni dari KPPPA menyampaikan bahwa budaya patriarki memberikan ruang yang terbatas bagi perempuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan perdamaian dan kemandirian ekonomi bisa memberdayakan dan menguatkan perempuan. Lalu ibu Mira Kusumarini, direktur yayasan Empatiku, juga menekankan pentingnya usaha sosial yang dibangun para perempuan dalam meningkatkan daya tangguh mereka. Pelatihan diawali dengan mengajak peserta memahami kohesi sosial kemudian dilanjutkan dengan personal reflection, belajar pemecahan masalah melalui studi kasus, coaching clinic dengan alumni program kewirausahaan, membuat rancangan usaha sosial dan terakhir membangun jejaring sosial serta rencana tindak lanjut.

Tahap ketiga dan keempat ditandai dengan mobilisasi dana insentif. Dana insentif usaha sebesar Rp. 10.000.000 didistribusikan kepada dua kelompok masing-masing Rp. 5.000.000 setelah semua kelompok mengirimkan rencana usaha dan rencana anggaran belanja. Dua usaha yang dibuat adalah usaha hijab dan kuliner. Yayasan Empatiku juga melakukan pendampingan teknis sebanyak dua kali yaitu 29 Agustus 2023 dan 20-21 September 2023. Di akhir program ketika evaluasi, kelompok hijab telah mencapai 86% keuntungan bersih dari target selama duan minggu beroperasi. Sementara, kelompok kuliner mampu mencapai 19% dari target keuntungan usaha sosial bersama.

Program pendampingan kewirausahaan sosial bagi para istri mantan narapidana terorisme ini menunjukkan bahwa perempuan bisa memiliki peran yang aktif dalam kegiatan ekonomi dan mandiri, mereka juga bisa membangun relasi dengan kelompok lain sehingga lebih mudah untuk reintegrasi sosial.

Pagi itu, 20 Oktober 2023, gedung IASTH Aula lantai 5 Universitas Indonesia kampus Salemba terlihat sangat ramai. Di dalam Aula sedang dilaksanakan Simposium hasil peneltian hasil kerjasama Yayasan Empatiku dengan Global Center dan Ketahanan Nasional Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia berjudul ‘Membangun Ketahanan Masyarakat terhadap Ekstremisme Kekerasan: Pemetaan Pembelajaran’.

Selain menjadi acara diseminasi hasil penelitian, symposium ini juga sekaligus menjadi dies natalis prodi Ketahanan Nasional UI. Digelar secara hibrida, simposium tersebut dihadiri oleh para perwakilan lembaga pemerintah seperti Kementerian Dalam Negeri, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Densus 88, FKDM dan Bakesbangpol seluruh Indonesia, organisasi masyarakat sipil diantaranya PAKAR, Kreasi Prasasti Perdamaian, Yayasan Prasasti Perdamaian dan beberapa akademisi.

Acara Simposium dibuka dengan menyanyikan lagu Indonesia raya dan sambutan dari direktur SKSG bapak Athor Subroto, S.E., M.M., M.Sc., Ph.D. Beliau menyampaikan pentingnya ketahanan masyarakat untuk mencegah persebaran pemahaman-pemahaman yang bersifat ekstrem dan bermuatan kekerasan. Dimoderatori oleh Dr. Puspitasari, dosen SKSG UI, acara diskusi dimulai. Dr. Margaretha Hanita, dosen Ketahanan Nasional UI, memberikan pengantar tentang ketahanan masyarakat. Selanjutnya, Mira Kusumarini selaku Direktur Yayasan Empatiku memaparkan hasil penelitian diantaranya tentang capaian tim tangguh di kelurahan Mekarjaya dan Pondok Kacang Timur, tantangan, peluang dan rekomendasi bagi stakeholder terkait. Hasil penelitian tersebut kemudian ditanggapi oleh Professor Greg Barton dari Deakin University Australia, Professor. Irfan Idris dari BNPT dan Doktor Simon selaku kaprodi Ketahanan Nasional.

Professor Greg Barton menyampaikan bahwa dalam proses radikalisasi, bibit pertama yang muncul adalah intoleransi. Intoleransi muncul di level masyarakat sehingga mereka tidak bisa menerima keberagaman hingga mereka berubah menjadi membenci orang lain. Senada dengan Prof. Greg Barton, Prof.Irfan menjelaskan bahwa meskipun tren penangkapan berkurang namun potensi serangan dan pertumbuhan terorisme tetap perlu diwaspadai, termasuk juga persebaran bibit-bibit radikalisme dari intoleransi. Bahkan, beberapa teroris yang tertangkap telah teradikalisasi sejak mereka masih usia sekolah, tambahnya. Sebelum pak Simon menyampaikan tanggapannya, bapak Iswandi dari Direktorat Ketahanan Ekonomi, Sosial dan Budaya Kementerian Dalam Negeri ikut menyampaikan bahwa isu ekstremisme ini tidak ditangani langsung oleh Kemandagri. Namun, sekarang berusaha untuk berkoordinasi ke daerah seperti dengan Kesbangpol danmembentuk tim terpadu dari provinsi hingga kabupaten/kota untuk merespon konflik sosial termasuk di dalamnya masalah ekstremisme berkekerasan. Pada sesi tanggapan terakhir, Dr. Simon mengungkapkan ada tiga hal yang perlu ditekankan dalam ketahanan masyarakat. Pertama adalah kemampuan yang terkait dengan kapasitas masyarakat yaitu coping, adaptif dan transformasi dalam konteks ini, ekstremisme berkekerasan

Setelah pemaparan hasil riset dan tanggapan dari para ahli, symposium dilanjutkan dengan diskusi. Beberapa pertanyaan diajukan oleh para peserta seperti latar belakang etnis para responden penelitian, upaya pencegahan intoleransi di tingkat masyarakat akar rumput, dan stigmatisiasi terhadap seseorang yang berpenampilan sesuai keyakinannya namun dianggap berbeda oleh masyarakat pada umumnya. Mira Kusumarini menjelaskan bahwa meski etnisitas tidak digali dalam penelitian ini namun penelitian tetap diharapkan bisa memberi ruang diskusi secara luas. Baginya, buku panduan sistem deteksi dini milik Yayasan Empatiku bisa membantu masyarakat untuk mencegah tumbuhnya radikalisme dan ekstremisme berkekerasan. Lebih jauh, sistem ini juga bisa digunakan untuk membantu memberikan pendampingan ketika reintegtasi kepada returnee dari Suriah yang kembali ke Indonesia. Lalu, Professor. Greg Barton merespon perihal isu intoleransi bahwa selain fenomena intoleransi itu sendiri, ada fenomena baru yang turut mewarnai yaitu hateful extremism ditandai dengan munculnya hate speech yang terstruktur. Ada kemungkinan bahwa simpati atas kejadian di Gaza dipergunakan sebagai narasi dalam pilpres. Kita harus hati-hati agar protes yang disampaikan tidak dipergunakan untuk propaganda.

Merespon hal yang sama tentang intoleransi, Professor. Irfan Idris mengatakan bahwa terorisme tidak menggunakan symbol dan identittas pakaian dan penampilan tertentu tidak bisa menjadi tolak ukur keterlibatan seseorang dalam organisasi teroris. Oleh karena itu, ada kontra narasi, kontra propaganda dan kontra ideologi. Terakhir, pak Simon mengaskan fenomena para generasi muda yang terpapar dengan berita dan narasi bermuatan intoleransi dan ekstremisme melalui platform digital. Sehingga strategi dan upaya kontra narasi perlu ditingkatkan.

Terakhir, setelah melalui proses diskusi, moderator menyimpulkan yaitu ekstremisme berkekerasan bersumber dari masalah sosial yang menjadi sumber kekecewaan hingga mendorong orang untuk melihat orang atau kelompok lain dengan kebencian. Rasa benci ini kemudian digunakan oleh kelompok tertentu untuk menciptakan ekstremisme kekerasan. Satu lagi, bahwa dalam ketahanan masyarakat ada tiga kata kuncinya yaitu kapasitas coping, adaptif dan trasnformatif, terutama dalam konteks waktu saat ini ada dua isu yang menjadi ‘pintu masuk’ tumbuhnya ekstremisme yaitu konflik Gaza dan Pemilihan Presiden. Model yang dibuat Empatiku memberikan harapan untuk membangun ketahanan masyarakat dalam mencegah ekstremisme berkekerasan.

Akhirnya, setelah melalui proses penggalian data sejak Juli hingga Agustus dan proses analisa serta penulisan, akhirnya laporan penelitian berhasil diseminarkan. Laporan tersebut telah mendapatkan berbagai masukan dari berbagai pihak sehingga saat ini sedang dalam proses penyempurnaan. Selanjutnya, laporan penelitian tersebut akan dikirim ke para pemangku kepentingan yang terlibat dalam isu pencegahan ekstremisme berkekeradan dan disebarluaskan melalui platform digital sehingga dapat diakses oleh publik. Terima kasih kepada semua pihak yang terlibat dalam proses penelitian ini, terutama tim Tangguh di Kelurahan Mekarjaya, Depok dan Pondok Kacang Timur, Tangerang Selatan sebagai responden penelitian.

Seminar Nasional Analisis Kebijakan Penanganan Terorisme Terhadap Perlindungan HAM Warga Sipil di Indonesia | Senin, 17 Juli 2023

Yayasan Empatiku – BNPT – UN WOMEN

“Tidak ada penanganan tanpa pencegahan, keduanya adalah satu kesatuan”

Pada 6 Maret 2023, Yayasan Empatiku bersama dengan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan UN Women mengadakan peluncuran buku ‘Panduan Mengenali Tanda Peringatan Dini Ekstremisme Kekerasan’. Acara tersebut dihadiri oleh 192 peserta dari berbagai lapisan pemangku kepentingan, organisasi masyarakat sipil dan akademisi.

Acara peluncuran buku ini dibuka dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya, penampilan tari tradisional dan penanyangan video tentang sistem deteksi dini berbasis masyarakat dalam membangun resiliensi masyarakat. Video ini memberikan highlight awal tentang resiliensi masyarakat yang dilihat dari empat pilar; peningkatan pengetahuan dan kemapuan mendeteksi tanda peringatan dini, mekanisme penanganan kasus, kohesi sosial dan basis hukum.

Setelah pembuka, acara dilanjutkan dengan talkshow dan diskusi. Terdapat lima pembicara yaitu Kombes Pol Ponco Ardani (Kasi kontra ideologi, direktorat pencegahan Densus 88), Dwi Rubiyanti, (steering committee WGWC dan direktur AMAN Indonesia), Devi Briliant (Tim Tangguh Mekarjaya), Iman Santosa (Messager of Peace) serta Annisa Noor Fadilah (Aktivis sosial muda Jakatarub Bandung). Para pembicara menyampaikan bahwa berbagai tantangan dan pentingnya peran masyarakat dalam penyebaran ideologi ekstremisme, serta membagikan pengalaman mereka masing-masing dalam upaya melawan rekrutmen and radikalisasi yang dilakukan kelompok-kelompok radikal ekstremis. Di akhir talkshow, para pembicara menyampaikan rekomendasi mereka untuk para stakeholder, organisasi masyarakat sipil dan komunitas secara keseluruhan tentang pentingnya mencegah intoleransi yang berkembang menjadi pemahaman radikal ekstremisme hingga terorisme dan kerjasama yang holistic antara semua pihak.

Setelah pembukaan dan talkshow, acara dilanjutkan dengan penayangan video singkat tentang identifikasi tanda peringatan dini ekstremisme berkekerasan dan peluncuran buku ‘Panduan Mengenali Tanda Peringatan Dini Ekstremisme Kekerasan’ secara resmi. Mira Kusumarini selaku pendiri dan direktur Yayasan Empatiku dan Dwi Yuliawati Faiz, Kepala Program UN Women Indonesia, menyampaikan rasa terima kasih kepada semua pihak yang telah berpartisipasi dalam pembuatan buku tersebut. ibu Dwi Yuliawati juga menyampaikan pentingnya melibatkan perempuan dalam upaya pencegahan. BNPT yang diwakili oleh Mayor Jenderal TNI Nisan Setiadi, S.E, selaku deputi 1 juga ikut menyampaikan urgensi kewaspadaan masyarakat dan pentingnya buku panduan ini yang memuat prinsip-prinsip dasar deteksi dini terhadap tanda-tanda ekstremisme berbasis kekerasan dengan juga tetap mempertimbangkan isu anak dan perempuan. Lebih jauh, guna memperluas diseminasi buku ini, bapak Nisan telah berkomunikasi dengan FKPT Depok dan Banten, salah satunya terkait rencana tindak lanjut di masa depan. Terakhir, acara diakhiri dengan penutupan oleh panitia.

Tentang buku ‘‘Panduan Mengenali Tanda Peringatan Dini Ekstremisme Kekerasan’

Buku panduan ini mengulas tentang perilaku apa saja yang penting dikenali sebagai tanda peringatan dini dan tindak lanjut penanganan dan pencegahan apa saja yang dapat dilakukan oleh tidak hanya pemerintah dan organisasi non pemerintah namun juga masyarakat secara luas. Selama ini, aspek pencegahan dalam isu ekstremisme berbasis kekerasan masih belum banyak dibahas dan cenderung fokus kepada penanganan ketika tindak kekerasan terjadi. Salah satu masalah yang juga muncul adalah aspek ketahanan dan kepekaan masyarakat terhadap tumbuhnya ideologi yang mengarah pada ekstremisme berkekerasan. Hal tersebut menjadi salah satu tantangan faktual saat ini. Oleh karena itu, buku panduan ini diharapkan mampu menjadi referensi bagi seluruh pihak termasuk seluruh masyarakat untuk mengenali tanda-tanda peringatan dini, termasuk anak dan perempuan yang mulai ‘dilirik’ oleh kelompok radikal ekstremis untuk dilibatkan dalam aksi mereka. Pencegahan merupakan bagian dari penanganan dan begitupun sebaliknya. Keduanya menjadi satu kesatuan sehingga perlu untuk mendapatkan perhatian dari berbagai pihak, termasuk masyarakat dan para pemangku kepentingan.