Lindungi Anak dari Radikalisasi: Warga Sukamaju Bergerak Bersama

Pada 22 April 2025, warga RW 28 Kelurahan Sukamaju, Depok, berkumpul dalam sebuah diskusi hangat di rumah Ibu Siti Khodijah. Bertemakan “Lindungi Anak dari Radikalisasi”, kegiatan ini diprakarsai oleh Tim Tangguh Sukamaju dan Yayasan Empatiku sebagai upaya membangun kesadaran kolektif warga untuk menjaga generasi muda dari pengaruh ekstremisme.

Membangun Masyarakat Tangguh dari Akar Rumput

Diskusi dimulai dengan sambutan Ibu Khodijah dan Ketua Tim Tangguh, Bapak Kusmawan, yang menekankan pentingnya keterlibatan warga dalam mencegah radikalisasi. Tim Tangguh hadir bukan hanya untuk membantu mantan narapidana terorisme (napiter) berintegrasi kembali ke masyarakat, tetapi juga sebagai benteng awal pencegahan kasus baru.

“Pernah ada kasus terorisme di Sukamaju, dan itu jadi pelajaran bersama,” ujar Pak Kusmawan. Bahkan, kisah sukses Tim Tangguh Sukamaju telah menarik perhatian tamu dari Irak dan Amerika Serikat untuk belajar bersama.

Radikalisasi: Ancaman Nyata di Era Digital

Mega Priyanti dari Yayasan Empatiku menyampaikan betapa pentingnya literasi warga terhadap bahaya radikalisme, ekstremisme, dan terorisme. “Radikalisme tidak selalu terlihat mencolok. Bahkan bisa muncul dari ruang pengajian, media sosial, hingga ajakan sederhana dari orang yang tampak religius,” jelas Mega.

Dengan mencontohkan kasus nyata—dari anak yang direkrut kelompok radikal di KRL, hingga remaja yang berubah drastis setelah ikut pengajian tertutup—diskusi ini membuka mata para peserta bahwa siapa saja bisa menjadi korban.

Pentingnya Peran Keluarga dan Lingkungan

Cerita dari warga, seperti Ibu Yenti dan Pak RW, menggambarkan bagaimana kepedulian keluarga dan pendekatan yang hangat bisa menyelamatkan anak dari cengkeraman kelompok radikal. Tak kalah menyentuh adalah kisah Umi Diana, seorang istri dari eks anggota kelompok radikal, yang kini bangkit dan kembali membuka rumah belajarnya berkat dukungan Tim Tangguh dan masyarakat sekitar.

Upaya Pencegahan Sejak Dini

Diskusi juga menyepakati pentingnya membekali anak dengan nilai-nilai toleransi, berpikir kritis, serta mengenalkan keberagaman budaya Indonesia. Upaya konkret seperti menghidupkan kembali permainan tradisional dan mengaktifkan Karang Taruna menjadi solusi lokal yang penuh makna.

Ibu Sekretaris PKK menegaskan, “Kegiatan seperti ini harus terus digalakkan. Mari libatkan remaja dalam kegiatan sosial agar mereka punya ruang positif untuk berkembang.”

Penutup Penuh Harapan

Pertemuan ditutup dengan optimisme. “Kita harus jaga anak-anak kita. Jangan sampai niat baik mereka belajar agama malah dimanfaatkan oleh kelompok yang salah,” ujar Ibu Khodijah menutup acara.

Warga Sukamaju telah membuktikan bahwa dengan gotong royong, kesadaran kolektif, dan edukasi yang tepat, radikalisasi bisa dicegah sejak dini.

Peer to Peer Exchange Learning with ICAN

A significant highlight of this year was a peer-to-peer exchange facilitated by the International Civil Society Action Network (ICAN), wherein our organization learned from the experiences of Odessa, Iraq, another CSO actively engaged in counter-violent extremism (CVE) efforts.

During this week-long exchange, our organization showcased its best practices, specifically highlighting the contributions of our ‘Tim Tangguh’ in CVE prevention and mitigation. Our peers expressed significant interest and admiration for the outcomes achieved by our team.

Furthermore, the exchange included visits to key Indonesian government institutions, namely the Ministry of Religion, the National Counter Terrorism Agency (BNPT), and Counterterrorism Special Detachment 88 (Densus 88). These visits provided valuable insights into the counterterrorism strategies and operations implemented at the national level.

The final two days were dedicated to reflection and evaluation. At Rumah Empatiku, participants engaged in a critical analysis of the exchange, identifying key learnings and areas for improvement in our own CVE work.

Secure Here and Now bersama Perempuan-perempuan Tangguh di Jawa Barat membangun Keamanan Diri

Perempuan yang memiliki peran pembawa damai ternyata perlu lho kenal dirinya apakah dirinya sudah aman atau belum. Tapi, apa saja ya aspek keamanan yang dimaksud. Selama tiga hari bersama perwakilan perempuan-perempuan tangguh dari Tim Tangguh di setiap kelurahan bentuka Yayasan Empatiku berusaha untuk menyelami diri tentang keamanan diri.

Dalam pertemuan yang berjudul “Secure Here and Now” ini, seluruh perempuan yang terlibat dijelaskan dan berusaha merefleksikan kembali lima aspek keamanan dalam penelitian yang juga berlangsung, yaitu:
– Keamanan fisik, yaitu resiko yang mungkin muncul yang dapat mempengaruhi keadaan fisik atau kesehatan.
– Keamanan kognitif-emosional, yaitu resiko keamanan yang dapat menyebabkan adanya masalah pada kesehatan mental seseorang, contohnya masalah kognisi seperti menjadi sulitnya berkonsentrasi dan fokus akan hal yang sedang dikerjakan, kesulitan mengambil keputusan dan masalah emosional, seperti gangguan mood dan coping mechanism yang maladaptif.
– Keamanan finanasial, yaitu resiko yang mempengaruhi kondisi ekonomi, seperti hilangnya kepemilikan aset dan keharusan untuk pindah tempat tinggal karena kerusakan lingkungan.
– Keamanan politik, yaitu resiko yang menyebakan hambatan untuk terlibat dan menyuarakan ide dalam memperjuangkan kesetaraan.
– Keamanan spiritual, yaitu resiko yang menyebabkan adanya kecenderungan untuk tidak merasa aman dengan keyakinan yang dimiliki dan dianut selama ini.

Dari uji coba alat tes yang diberikan didapati hasil 60% berada dalam kategori “Low Risk” dan 40% “Medium Risk”, ini berarti sebagian besar perempuan tangguh sebagai partisipan ini memiliki keamanan diri yang baik. Akan tetapi, tetap memerlukan perhatian dalam melaksanakan rencana keamanan dirinya.

Dalam workshop ini, perempuan-perempuan tangguh juga diajak untuk menentukan rencana keamanan yang perlu dilakukan untuk membuat mereka semua merasa lebih aman.

Exploring Mental Health Needs in Community Based Rehabilitation & Reintegration, Data Collection in Pattani, Thailand, Duayjai

Empatiku goes to Pattani, Thailand

As an observer, Empatiku joined along the process throughly for three days because we have been trying to figure out the connection between art and mental health for victims in conflicted area.

Duayjai Group helps people who have been hurt by conflict, especially those who were part of armed groups but were also mistreated. This includes things like torture, illegal imprisonment, and even disappearances. We try to understand each person’s situation to give them the best help possible.

Step 1: Understanding the Needs

First, we’ll assess your physical and mental health using a special questionnaire (the DSM-V HOPKINS SYMPTOM CHECKLIST-25).
Our trained team will talk to you and gather information, keeping in mind that you may have experienced trauma.
A psychologist will then review this information and give an initial diagnosis.
Our team will also provide some initial guidance on how to best prepare for the rehabilitation process.

Step 2: Creating a Personalized Plan

We’ve worked with psychologists and art therapists to design a mental health rehabilitation program.
This program is specifically tailored to meet the needs of people who have experienced trauma, based on their individual experiences and the initial assessment.

Step 3: Starting the Healing Journey

For those who experienced torture, we offer a three-day psychosocial intervention.
This involves a series of activities designed to support your mental and emotional well-being.
This version:
Uses simpler and more everyday language.
Avoids jargon like “DSM-V” and “Psychosocial Support for Crisis (PFA).”
Focuses on the core message of each step.
Is easier to understand for someone without a medical or psychological background.

The effects of trauma extend far beyond the individual survivor, deeply influencing their families, caregivers, and the broader community. The psychological effects of trauma on survivors can have a ripple effect on their families. For example, trauma-related symptoms such as irritability, anger, or withdrawal may strain relationships within the household. Spouses and children are particularly affected, as they often bear the brunt of emotional outbursts or disengagement. Children, who may not fully understand their parent’s struggles, can internalize these behaviors, potentially developing anxiety, depression, or behavioral issues of their own. Spouses, who frequently act as caregivers, may face caregiver fatigue or emotional burnout, especially if they lack access to external support. This dynamic can lead to a breakdown in family cohesion, creating cycles of stress and frustration.

Over a three-day period, Duayjai facilitated a collaborative workshop with Clinical Psychologists and Art Therapists. The methodology integrated in-depth clinical interviews with body mapping as an art-based therapeutic intervention for trauma processing.

On the inaugural day, participants were briefed on the workshop’s objectives and engaged in introductions with all stakeholders. Subsequently, participants were guided by Art Therapists to create outlines of their bodies on large sheets of paper, followed by skin coloration. Concurrently, a subset of participants underwent in-depth clinical interviews with Psychologists in a separate setting.

Day two involved a continuation of the body mapping activity, where participants incorporated ornaments and symbols representing repressed trauma or emotional wounds. This phase was interspersed with further in-depth clinical interviews. Participants actively shared their experiences and exhibited a sense of comfort and enjoyment in discussing their traumas and current emotional states. During this day, Empatiku conducted interviews with several participants to gather historical information on the Pattani conflict and their current hardships. The day concluded with a poignant evening performance featuring songs that reflected the participants’ suffering in detention camps, their longing for family, and the overwhelming sense of helplessness stemming from the ongoing conflict.

On the final day, participants presented their completed body maps. The presentations evoked strong emotional responses, with many participants experiencing tears as they recounted the traumatic events that had impacted their lives.

All participants demonstrated a high level of comfort and openness in sharing their current emotional and psychological experiences. This openness extended to the in-depth clinical interviews conducted by psychologists. While exhibiting potential vulnerability to Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD), all participants also demonstrated the presence of adaptive coping mechanisms and problem-solving abilities.

Founder Yayasan Empatiku melakukan kunjungan kegiatan Lembaga Gagandilan Mindanao Women Inc. di Sulu, Filipina.

Kunjungan ke Pulau Sulu adalah bagian dari dukungan pendampingan terhadap peserta paska SEAN CSO Community Based Rehabilitation & Reintegration Workshop di Jogya, 13-15 Agustus 2024 lalu. Mira berkunjung ke lokasi kegiatan Wahida Alil Abdula, Direktur lembaga masyarakat sipil Filipina, Gagandiran di Zamboanga dan Pulau Sulu, pada tanggal 30 Agustus – 2 September 2024. Kunjungan ditujukan untuk membantu peserta menyiapkan proposal e-learning tool model terkait proses Community Based Rehabilitation and Reintegration bagi para mantan kombatan perempuan di Sulu, Filipina.
Dalam kunjungannya, Mira bertukar pikiran dan mendalami kegiatan Lembaga Gagandilan Mindanao Women Inc. (GMWI) yang didirikan pada tahun 2016. Gagandilan mempunyai visi masyarakat, termasuk anak laki-laki dan anak perempuan, perempuan dan laki-laki, memiliki akses yang adil terhadap peluang, partisipasi dan kolaborasi dalam upaya pengembangan potensi manusia. Visi ini diwujudkan dengan memajukan dan memperjuangkan pembangunan berbasis keadilan gender di Region Otonomi Muslim Bangsamoro (BARMM-Bangsamoro Autonomous Region in Muslim Mindanao), Filipina. Gagandilan dengan fokus pemberdayaaan perempuan, mendukung pemerintah mengatasi dampak konflik dengan membangun komunitas yang damai, berkembang, dan tangguh, sebagai bagian dari mekanisme pencegahan ekstremisme kekerasan.
Gagandilan telah diakui Pemerintah Bangsamoro sebagai juara dalam melakukan advokasi perdamaian, dan dipercaya oleh Kementerian Keamanan dan Keselamatan Umum (MPOS), BARMM untuk mengimplementasikan program pembangunan perdamaian berbasis komunitas yang menargetkan rehabilitasi mantan ekstremis kekerasan (Abusayyaf).
Program ini telah mampu merehabilitasi 100 mantan kombatan yang tergabung dalam kelompok ekstremisme kekerasan dan 90 janda mantan kombatan melalui intervensi Psikososial, seminar dan intervensi sosial-ekonomi. Termasuk diantaranya memberikan dukungan berbasis kebutuhan dengan mempertahankan sumber mata pencaharian yang ada. Gagandilan Women juga diakui di tingkat nasional sebagai anggota kelompok perempuan di Komisi Anti Nemiskinan nasional (NAPC) di bawah Kantor Presiden Filipina.
Sebelum mengikuti program, mereka berpartisipasi aktif dalam mendukung kelompok ekstremisme kekerasan (Abusayyaf) termasuk melakukan pemberontakan, tinggal berpindah-pindah di tempat persembunyian di gunung-gunung, dimana anak-anak tidak bersekolah. Para janda kombatan diperintahkan untuk menikah lagi dengan anggota yang masih aktif sebagai bagian dari strategi operasional kelompok, selain juga demi pemenuhan ekonomi keluarga para janda.
Proses rehabilitasi dan reintegrasi sendiri dilalui dengan tidak mudah. Tantangan termasuk kecurigaan dari para kombatan, ketidakpercayaan terhadap proses, penerimaan masyarakat, ketidakpercayaan masyarakat terhadap niat pemerintah (dalam hal ini pasukan tentara yang menangani kelompok ekstremis), selain masyarakat yang mendukung dan tidak mendukung, serta kecurigaan terhadap ketulusan para mantan kombatan.
Bagaimana tantangan-tantangan ini bisa terjadi? Ikuti penulusurannya pada artikel selanjutnya.

Partisipasi Yayasan Empatiku sebagai Organisasi Masyarakat Sipil dalam K-Hub Forum 2024

Pada tanggal 18 September 2024, bertempat di Lunimor Hotel Pecenongan, Jakarta, PeaceGeneration Indonesia bersama KHub mengadakan forum yang super seru karena melihat potensi masing-masing Organisasi Masyarakat Sipil sebagai motor penggerak yang langsung bersentuhan dengan akar rumput. Hal ini menjadikan forum ini istimewa dan penting.
Tindak lanjut dari forum ini adalah setiap OMS dengan seksama melengkapi semua form dalam setiap section yang diajukan dalam KHub, agar menjadi dashboard tercapainya konsensus organisasi perdamaian di Indonesia. Selain itu, KHub yang sudah terintegrasi dengan I-KHub miliki BNPT, juga bisa menjadi refreshment dalam jenis-jenis praktik baik yang memungkinkan untuk diimplementasi atau diinprovisasi dari organisasi masing-masing.

Community Based Rehabilitation and Reintegration againts Violent Extremism

Yayasan Empatiku bersama anggota dari SEAN CSO melaksanakan workshop yang bertemakan “Community Based Rehabilitation and Reintegration againts Violent Extremism” pada 13-15 Agustus 2024 di Yogyakarta yang mengajak delegates atau atau perwakilan dari beberapa negara di Asia Tenggara dan Australia.

Pada hari pertama, seluruh peserta mendapatkan pemaparan area dialog yang akan dibahas dalam beberapa setting. Peserta dijelaskan oleh Mr. Greg sebegai Program Leader, tentang tujuan acara ini diadakan dan harapan yang kelak akan didapat dari seluruh peserta untuk menjawab.

Pada hari kedua, dengan materi yang lebih padat, peserta banyak dibentuk dalam kelompok diskusi untuk melihat kedalaman melihat situasi dan solusi yang bisa dan mungkin diberikan dalam ranah R&R (Rehabilitation andg Social Reintergration) dengan menyesuaikan dengan praktik baik yang sudah dijalankan di negara dan lembaga masing-masing.

Pada hari terakhir, setelah menerima materi, peserta diajak ke Omah Betakan, yaitu sebuah guest house yang dimiliki oleh Noor Huda Ismail sebagai founder dari Yayasan Prasasri Perdamaian (YPP) yang mana guest house ini banyak menjadi lokasi belajar untuk para ex-napiter dan menjadi komunitas yang berfokus untuk membangun dan memberdayakan mereka serta masyarakat sekitar. Dengan mengedepankan focus pada 3H (Head, Hand, Heart), Noor Huda percaya saat manusia diperlakukan dengan manusiawi dengan mengajak berpikir, memberikan skill-set yang dapat menopang ekonomi dan hobi, akan menembus hingga ke hati mereka untuk bisa lebih toleransi dengan banyak perbedaan yang muncul di lingkungan sekitar.

Seluruh peserta memiliki harapan untuk dapat berkumpul kembali dengan kegiatan atau media tukar pikiran lainnya.

Community Kirab Bendera Bersama Warga Desa Ciletung, Pandeglang, Banten.

Pada tanggal 8 Agustus 2024, berkolaborasi dengan Satuan Tugas Wilayah (Satgaswil) Desa Ciletung, Pandeglang, Banten, Yayasan Empatiku ikut dalam Kirab Bendera memperingati HUT RI ke 79 tahun. Dalam acara ini, Yayasan Empatiku mendonorkan beberapa bendera dan banner acara yang berlangsung meriah dengan melibatkan warga setempat.

Yayasan Empatiku bersama SEAN-CSO menggelar Workshop Rehabilitasi & Reintegrasi Berbasis Komunitas

Yayasan Empatiku bekerjasama dengan SEAN-CSO (South East Asia Network for Civil Society Organisations) dan anggotanya dari Peace Generation-Indonesia, Iman Research-Malaysia, Australia Multicultural Foundation (AMF)-Austalia melaksanakan workshop bertemakan Community Based Rehabilitation and Reintegration against Violent Extremism pada tanggal 13-15 Agustus 2024 di Yogyakarta yang melibatkan 40 peserta mewakili lembaga anggota dari Philipina, Malaysia, Singapore, Thailand, Indonesia dan Australia.

Workshop tahun ini ditujukan untuk (1) meningkatkan pengetahuan dan keterampilan anggota khususnya dalam menerapkan Rehabilitasi & Reintegrasi Berbasis Komunitas (CB RR) secara efektif dan berkelanjutan; (2) mengembangkan Kerangka Alat Penilaian Risiko dan Kebutuhan; dan (3) mengembangan rencana aksi kolaboratif antar anggota di Asia Tenggara paska workshop.

Empat topik besar dibahas dalam tiga hari workshop CB RR yang dikemas secara partisipatoris guna memaksimalkan pencapaian tujuan. Pada hari pertama pembahasan pada topik pertama dimana peserta diajak untuk mengidentifikasi resiko violent extremism (VE) dan sejarah gerakan VE di masing-masing negara dan di Asia Tenggara, termasuk melalui studi kasus, peserta mencoba mengidentifikasi tanda peringatan dini. Memahami tantangan dan peluang peningkatan kesadaran masyarakat, peserta berbagi pengalaman tentang upaya-upaya peningkatan pengetahuan dan kesadaran masyarakat.
Pada hari kedua, peserta membahas tentang bagaimana melakukan managemen kasus di tingkat komunitas yang dilanjutkan dengan mengidentifikasi tantangan-tantangan di beberapa negara. Peserta kemudian berdiskusi tentang bagaimana membangun kerangka penilaian resiko dan kebutuhan serta protokol keselamatan dan keamanan bagi para petugas CSO.

Pada hari ketiga, peserta diajak untuk membahas peluang-peluang kegiatan kolaborasi paska workshop antara lain proses pengembangan alat bantu pembelajaran elektronik (e-learning tool) CB RR yang diangkat dari pengalaman-pengalaman peserta di lapangan. Peserta juga diarahkan untuk mengajukan proposal ke SEAN CSO terkait aplikasi hasil pembelajaran workshop.

Pada akhir workshop peserta berkunjung ke Rumah Komunitas Omah Betakan yang dikembangkan oleh Noor Huda Ismail sebagai founder dari Yayasan Kreasi Prasasti Perdamaian (KPP). Omah Betakan dirancang sebagai sebuah guest house sekaligus tempat belajar bagi para ex-napiter dan komunitas setempat untuk sama-sama saling membangun keberdayaan. Dengan mengedepankan Head, Hand, Heart (3H), Noor Huda percaya dengan mengajak berpikir (Head), menerima seperangkat keterampilan guna menopang ekonomi dan hobi (Hand), akan menyentuh hati (Heart) mereka untuk kemudian bisa lebih bertoleransi terhadap banyak perbedaan di lingkungan sekitar.

Seluruh peserta sangat positif terhadap hasil workshop dan berharapan dapat berkumpul kembali dengan kegiatan atau media tukar pikiran lainnya.”

KEGIATAN PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN EKSTRIMISME BERBASIS KEKERASAN YANG MENGARAH PADA TERORISME T.A. 2024.

Yayasan Empatiku mendapatkan kesempatan untuk menjadi narasumber dalam Kegiatan Pencegahan dan Penanggulangan Ekstrimisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme Tahun Anggaran 2024 oleh Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Bakesbangpol) Provinsi Banten pada hari Rabu, 12 Juni 2024.
Pertemuan ini sangat menarik karena pesertanya merupakan pendidik dan guru-guru yang menjadi ujung tombak pendidikan di Indonesia. Peserta sangat antusias saat mendapatkan pemaparan tentang implementasi yang sudah dijalankan oleh Yayasan Empatiku dan merasa hal ini penting untuk kembali dihidupkan soal Pendidikan Wawasan Kebangsaan.
Terdapat harapan bahwa ekstrakurikuler Pramuka dan Budaya Indonesia perlu lebih diberikan ruang untuk tumbuh, mengingat ekstrakurikuler dapat menjadi metode pembelajaran kebangsaan yang menyenangkan.